Rabu, 02 Juli 2014

Pilih No. 1 atau No 2? Golput Tetap Keputusan Terburuk

Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini
(Taufik Ismail)
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.

      Kepercayaan, suatu hal yang mahal sekali harganya.  Kepercayaan berubah menjadi ketidakpercayaan, pasti karena ada kebohongan. Kepercayaan pada zaman ini dinodai dengan kebohongan janji politisi, ketidakpastian  hukum, dan karut marut birokrasi. Masyarakat sudah terlanjur luka akibat ulah para pejabat terpilih yang lupa akan janjinya, dan bahkan menjadi perampok negeri. Situasi juga diperparah dengan penegakan hukum yang sering  jauh dari adil serta birokrasi yang katanya pelayan masyarakat, hanya sekedar “katanya”.
 Pemilu seharusnya menjadi sebuah pesta demokrasi  dimana rakyat  sebagai tuan di  negeri ini menunjukkan “tahtanya” dalam  menentukan masa depan negeri dengan   memilih kepala negara (Presiden) dan atau wakil rakyat. Namun, kini pemilu seakan tidak menjadi sebuah hari yang luar biasa lagi. Kampanye pun terkadang terasa hanya sebagai kegiatan musiman;  hingar bingar tahun politik saja yang pada akhirnya hasil yang terlihat hanya sebatas  sampah alat-alat peraga kampanye yang masih berserakan di jalanan, di pohon, di alat-alat transportasi umum, dan lain-lain. Sesungguhnya, ini adalah buah dari ketidakpercayaan  masyarakat yang bahkan berujung pada sikap apatis, dan hilangnya harapan akan adanya kepemimpinan atau nasib bangsa yang lebih baik. Sehingga, saat pemilu tiba Golput seakan menjadi pilihan terbaik.
No GOLPUT!! (sumber gambar : riaupos.com)
Golput entah sejak kapan istilah itu muncul dan tidak jarang menjadi istilah favorit banyak orang pada saat musim pemilu. Golput “katanya” akronim dari Golongan Putih yang memiliki pengertian sikap netral, tidak memihak pihak manapun, tidak memilih pilihan mana pun. Golput, mungkin pengertian halusnya adalah sikap pasif dalam pemilu. Mengapa Golput? Apa karena  memang sudah terlanjur tidak percaya sekaligus tidak punya harapan akan perubahan terhadap calon pemimpin, kurang pengetahuan tentang calon pemimpin, bingung, atau memang karena tidak mau tahu? Saya tidak tahu. merdeka.com menyebutkan bahwa tingkat partisipasi politik di Indonesia menurun sejak pemilu tahun 2004. Hal ini ditandai dengan jumlah Golput yang pada pemilu sebelumnya tidak mencapai 10%,  di tahun 2004 menyentuh sekitar angka 15%. Pada pemilu berikutnya di tahun 2009, penurunan partisipasi politik mencapai angka sekitar 29,1%.   Namun, untuk pemilu legislatif  tahun 2014 April lalu, www.bbc.co.uk menyebutkan jumlah yang golput tercatat 27%. Dengan demikian  Golput mengalami kenaikan 2% jika dibandingkan pemilu 2009 lalu. Tidak jauh berbeda,  Lembaga Survey Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), mencatat Golput  dalam pemilu kemarin mencapai 26,56%.
GOLPUT BUKAN SOLUSI!! (sumber gambar : senator-abdurachman.blogspot.com)
Pernah dalam pemilihan pengurus organisasi kemahasiswaan yang saya ikuti, ada seorang teman  yang berkata tidak ingin memilih karena calon yang ada tidak memenuhi kriteria yang ia inginkan sebagai pemimpin. Mengenai kriteria pemimpin, semua orang menginginkan pemimpin yang sempurna dan sesuai dengan keinginannya. Tapi, apa mungkin ada kriteria yang seperti itu? Jika setiap orang menginginkan pemimpin yang sesuai kriterianya masing-masing, maka tidak akan ada yang bisa menjadi pemimpin sebuah negara yang penduduknya sangat banyak.
yang mana paling sempurna? (sumber foto : simomot.com)
Tanggal 9 Juli, negara Indonesia akan merayakan pesta rakyat  lagi ; pesta demokrasi Pemilihan Presiden. Pesta demokrasi yang kesekian kalinya ini mengusung 2 pasang calon presiden dan wakil presiden; pasangan Prabowo-Hatta pada nomor urut 1 dan Jokowi-Jusuf Kalla pada no urut 2. Pemilih seharusnya bisa lebih mudah menentukan pilihan. Pilih no. 1 atau no 2, itu saja. Namun, kenyataannya tetap saja memilih itu sulit. No 1 atau no 2, tetap saja tidak ada yang sempurna. No 1 atau no. 2 tetap saja ada sisi baiknya dan buruknya. Hati-hati sebelum memilih. Pilihlah yang sesuai hati nurani (ups, ini bukan mengarahkan memilih salah satu partai, haha). Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka masing-masing menang. Sejauh ini kita hanya bisa menilai dari apa kata mereka dan menilai sendiri track record pencapaia/prestasi kenerja mereka.  Tidak ada yang tahu pasti apakah janji akan ditepati atau janji tinggal janji yang  berakhir pada retorika semata.  Tidak ada yang tahu. Hanya Tuhan, kita hanya bisa berharap dan berdoa. 
Memberikan suara, adalah hak kita. Hanya beberapa menit saja. Pemilihan umum juga sudah dijadikan hari libur. Jadi apa alasan untuk tidak memilih? Jika memberikan hak saja pun, tidak sanggup bagaimana dengan kewajiban? Kita, terutama yang katanya terpelajar harusnya bisa menjadi agen perubahan dalam mengambil keputusan khususnya dalam hal partisipasi aktif dalam pemilu. 
pilih no. 1 atau no. 2? Golput tetap keputusan terburuk!! (sumber gambar : ronamasa.com)
No urut 1 atau pun no urut 2, yang mana yang paling baik? yang mana yang paling sempurna? Kita warga negara pada dasarnya adalah raja di negara ini, kita yang menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin. Kita tidak diizinkan untuk Golput. Golput hanyalah pilihan bagi orang yang ingin mencari sempurna, sementara keinginan sempurna mereka justru tidak pernah sempurna. Golput hanya alasan mengunci diri dengan ketidakpercayaan dan melapisinya dengan keapatisan. Golput hanya alibi untuk tidak melakukan apa-apa.  Apakah Golput akan menghasilkan sesuatu yang baik? Tidak. Apakah dengan memilih keadaan akan lebih baik? bisa jadi, kita berharap IYA.  Daripada Golput, memilih pasti akan lebih baik. Masih ada seminggu waktu untuk menimbang kelebihan dan kekurangan calon. Jika masih merasa sebagai warga negara Indonesia, itu berarti orang itu bertanggung jawab dalam menentukan masa depan negara ini. Menggunakan hak pilih dengan benar adalah salah satu  langkah kecil yang berdampak sangat besar.  Sebisa mungkin gunakan hak suara Anda. Satu suara sangat berharga. Suara Anda, sangat berharga. Suaramu, suaraku menentukan masa depan bangsa ini. Jadi, mau pilih no. 1 atau no. 2? Golput tetap pilihan yang terburuk.
Hmm, finally saya cuma mau bilang itu saja. Jangan lupa, 9 Juli, pergi ke TPS bawa KTP dan pilihlah no. 1 atau no. 2 ; Sudah bukan zamannya golput. Terima kasih.
suara Anda berharga (sumber gambar : Alifiarga.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar